
Dari
anas bin malik radliyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiw a
sallam bersabda: “Ada tiga hal yang barangsiapa memilikinya niscaya ia
akan mendapatkan manisnya iman: (1). Allah ta’ala dan Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam
lebih ia cintai daripada yang lainnya, (2). Mencintainya seseorang,
tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah ta’ala, (3). Benci untuk
kembali kepada kekafiran setelah Allah ta’ala menyelamatkan darinya
sebagaimana ia benci dirinya dimasukkan ke dalam api”
[1]
Merasakan manisnya sesuatu merupakan buah dari cinta terhadapnya. Di
kala seseorang mencintai sesuatu atau menyukai lantas mendapatkannya,
maka ia akan merasakan manis, lezat dan bahagia karenanya. Demikian pula
manisnya iman yang dirasa oleh seorang mukmin; kelezatan dan
kebahagiaan yang ia dapatkan dalam keimanannya sebanding dengan cinta
yang ada dalam dirinya. Dan hal itu akan ia dapatkan dengan melakukan
tiga hal yang disebutkan oleh hadits di atas.
[2]
Yang berhak dicinta di atas cinta
Cinta, sebuah kata yang indah didengar, manis diucapkan, nikmat
dirasakan. Cinta adalah karunia dan rohmat dari Allah ta’ala yang Dia
berikan dan Dia bagikan kepada manusia.
Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah menjadikan cinta sebagai
jalan menuju apa yang dicintai-Nya, dan telah menjadikan ketaatan dan
ketundukan kepada-Nya sebagai dalil atas kebenaran dan kejujuran cinta.
Dia-lah yang telah menggerakkan jiwa dengan cinta menuju kesempunaan.
Mahasuci Allah yang telah memalingkan hati kepada yang Dia kehendaki dan
untuk apa yang Dia kehendaki dengan kekuasaan-Nya. Dia lah yang
menjadikan cinta bercorak dan bercita warna, membagikan cinta kepada
para hamba-Nya, memberikan pilihan kepada mereka apa dan siapa yang
dicintainya; ada cinta yang mulia dan ada yang hina, ada yang cinta
harta, wanita, tahta dan segala yang nista.
Namun ada sebuah cinta yang paling mulia, (yaitu) cinta kepada Sang
Pencipta cinta, yang telah menciptakan alam semesta dengan cinta, dan
untuk cinta, karena pada hakikatnya cinta yang tertinggi dan termulia
dari hamba adalah menghamba kepada-Nya. Dan tiada yang berhak menerima
cinta termulia ini melainkan Dzat yang seluruh alam semesta harus tunduk
kepada-Nya. Karena tidaklah jin dan manusia diciptakan melainkan untuk
menghamba kepada-Nya. Dan seluruh cinta harus tunduk di bawah cinta-Nya
dan cinta karena-Nya.
Semakin bertambah cinta seorang mukmin kepada Allah ta’ala dan
Rasul-Nya, semakin bertambah pula rasa manis imannya. Karena iman
memiliki rasa manis dalam hati, kelezatan iman yang tidak diketahui
melainkan oleh Allah ta’ala, itulah cinta di atas cinta
[3].
Cinta Hakiki Cinta Yang Terbukti
Cinta butuh kepada bukti untuk bisa diakui kebenaran cintanya. Karena
siapapun bisa saja mengaku cinta, namun tidak semua pengakuan cinta itu
hakiki dan sejati, dan tidak semua pengakuan cinta itu abadi. Ada
tanda-tanda dan bukti cinta yang harus diwujudkan hingga bisa diketahui
manakah sebenarnya cinta yang sejati dan mana yang hanya sekedar cinta
palsu. Demikian pula apakah cinta itu tulus dan murni ataukah sebenarnya
ada keinginan lain dibalik pengakuan cinta, apalagi jika pengakuan
cinta itu ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, atau cinta karena Allah
ta’ala dan benci karena-Nya; tentu bukan pengakuan yang sepele dan mudah
diucapkan begitu saja, tetapi disinilah ukuran iman akan ditentukan.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
”Tidaklah seorang hamba beriman hingga aku menjadi orang yang
lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya dan manusia semuanya.” (HR. Bukhori)
Allah ta’ala juga berfirman:
”Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (QS. Al-Ahzab: 6).
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Hisyam
radliyallahu’anhu bahwa ia berkata: Kami bersama Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam ketika itu beliau
shallallahu’alaihi wa sallam menggandeng Umar bin al Khattab
radliyallahu’anhu lalu Umar berkata kepada beliau,
”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”.
Maka Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
”Tidak !
[4] Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan Nya, hingga aku menjadi orang yang lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”
Maka ’Umar
radliyallahu’anhu pun berkata kepada beliau, ”Sesungguhnya sekarang, Demi Allah, engkau sungguh lebih aku cintai daripada diriku sendiri”.
Maka beliau
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
”Sekaranglah wahai Umar !”
[5] yakni, baru sekaranglah imanmu sempurna.
Pedoman Hakikat Cinta
Allah ta’ala telah memberikan sebuah pedoman untuk mengetahui hakikat
pengakuan cinta seseorang, (yaitu) bahwa yang menjadi ukuran dan bukti
cinta seseorang kepada Allah ta’ala adalah sejauh mana dia dalam ber
ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Allah berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
”Katakanlah: ’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian’. Allah Maha
Pengampun dan Penyanyang” (QS. Ali-’Imron: 31)
Ittiba’ kepada Rasulullah merupakan bukti cinta hamba kepada
Allah ta’ala. Dan Allah ta’ala memberikan janji kepada hamba-Nya berupa
balasan cinta-Nya ketika memenuhi syarat cinta. Karena yang paling
penting dan paling agung bukanlah pengakuan hamba bahwa ia
mencintai-Nya, namun yang paling penting dan agung adalah ketika ia
dicintai dan dibalas cintanya oleh yang dicintainya.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa
ittiba’ kepada Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam
adalah bukti dan realisasi pengakuan cinta seseorang kepada Rasulullah
yang harus didahulukan dan diletakkan di atas cinta kepada yang lainnya.
Dan inilah hakikat cinta kepada Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam
yang sebenarnya. Barangsiapa yang menyelisihi, menyimpang dan
meninggalkan ittiba’, apalagi mengolok-olok, meremehkan, menghina dan
menghujat sunnah Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam, berarti dia telah bermaksiat kepada Allah ta’ala, sekaligus menafikan kesempurnaan atau bahkan seluruh imannya.
Hanya kepada-Nya lah seharusnya kita memberikan cinta di atas cinta.
Walillahil mahabbah.
~via copy paste @http://lovefull.blog.uns.ac.id ^^♥